Kampung melayu, kampung yang bisa dikatakan kumuh bagiku tapi tidak untuk penduduk sini. Aku hanya hidup dalam keluarga yang kecil karena rumah yang menjadi sangkar kami memang kecil. Tidak ada yang bisa diharap dari kedua orang tuaku yang hasil kerjanya hanya bisa mencukupi makan dua kali atau syukur-syukur bisa tiga kali sehari. Aku hanya ingin merasakan kedamaian dalam rumah ini. Sholat lima waktu sudah kami lakukan tiap hari, bahkan kalau bisa kami melaksanakannya berjamaah. Cukup sakinah. Tapi tidak untuk tetangga yang rumahnya berdempetan dengan keluarga kami. Dengan jarak rumah yang tidak bisa diukur siapa pemilik tanah seutuhnya, karena ada sedikit lahan kosong barang beberapa meter selalu terbangun sesuatu yang berguna bagi pembangun pertama. Tidak melihat itu tanah siapa. Kalaupun maklum dari empunyanya, maka tidak masalah. Di kampung kami masih banyak maksiat. Rakyat kecil masih banyak yang pintar bermain duit dengan judi. Kami tidak tahu apakah mereka rajin shalat apa tidak. Karena masjid di kampung sering kosong. Yang mengisi masjid itu hanyalah orang-orang yang sudah termakan usianya, dapat terhitung jari. Padahal mayoritas muslimlah yang terbanyak, hampir tidak ada nonmuslimnya. Setiap ada tasyakkuran banyak sekali yang datang, bahkan yang tidak diundangpun ikut datang. Menandakan mereka itu banyak yang muslim. Tapi, dengan penampakan macam itulah yang membuat kami semakin taat dengan perintah Allah. Walaupun kami sekeluarga tidak akan pernah memutuskan tali silaturrahim antar tetangga sekampung. Rasa cemas masih saja ada, bahkan selalu ada dalam pikiran kami. Mustahil untuk kami keluar dari kampung warisan nenek moyang ini. Yang membingungkan adalah, mereka itu pernah dapat teguran langsung dari Allah berupa banjir yang menenggelamkan rumah hingga yang tersisa hanya atap saja. Namun tetap tidak ada pengaruh. Sebulan berikutnya setelah musibah itu, mereka kembali pada adat kebiasaan mereka. Walaupun tidak memakan korban, atau mereka menginginkan korban sebagai pelajaran yang lebih. Agar mereka bisa kembali ke rumah Allah untuk selalu melaksanakan perintah-Nya.
*** Aku Aisyah, Abahku Ahmad tapi para tetangga banyak memanggilnya dengan pak Mamad. Sedang Emakku Fatimah, lagi-lagi tetangga memotong namanya dengan panggilan bu Immah saja. Sudah empat hampir lima tahun berlalu setelah kejadian banjir yang melanda kampungku. Di keluarga kami hal itu sangat berpengaruh dan menjadi pelajaran berharga agar kami selalu taat pada aturan-Nya dan tidak berbuat tamak dalam arti serakah. Tapi harusnya tidak pada keluarga kami saja. Semua kampung, kalau bisa. Atau satu kota. Ini hanya dalam ruang lingkup masyarakat kecil saja. Tidak tahu apabila yang duduk di atas sana, yang kata ayah, 'Mereka banyak memakan hak orang kecil nak,â€Â' ucapnya. Tapi itu dalam garis besar juga. Mungkin saja diantara mereka masih ada yang sadar diri. Tidak bisa diprediksikan. ' Bah, kapan mereka bisa membantu rakyat kecil ya?†' ' Kalau mereka sadar Aisyah.â€Â' 'Kapan mereka sadarnya?' 'Kalau mereka bisa selalu mengingat Tuhan dan mampu mengendalikan hawa nafsunya.†Sudah cukup jawaban dari Abah, untuk mengingat Tuhan mereka harus diberi pelajaran agar mereka menyadari dunia ini bukan milik mereka. Kapan pelajaran itu datang dan dari siapa akan kutanyakan lagi pada momen berikutnya apabila Abah mempersilakan padaku untuk bertanya. Kemudian Emak datang membawa beberapa nasi yang sudah ditanak bersama garam. Cukup untuk mengisi perut ini agar tidak kelaparan seperti orang-orang yang tinggalnya di bawah kolong jembatan. 'Mak hanya bisa meyediakan hidangan ini untuk malam ini, kalau nanti kita sudah punya uang yang cukup kita bisa makan daging,â€Â' ucap Emakku. Namun Abah mengilah, “Jangan berangan-angan Mak, syukuri apa yang telah kita dapat hari ini. Agar kita tidak menjadi orang tamak nanti.â€Â' 'Maaf Bah,' jawab Emak. Aku masih bisa bersyukur punya keluarga yang masih bisa menasehati satu sama lain, terutama Abah.
*** Malam itu hujan sangat deras tidak ada hentinya sejak sore tadi. Kami baru tidur setelah jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sebelumnya Abah mengatakan, “Seperti malam-malam sebelumnya, Abah mengajak Emak dan Aisyah agar mengikhlaskan segala perbuatan yang hari ini telah kita perbuat. Agar kita bisa tenang dan mengawali hari esok dengan baik.â€Â' 'Mak mohon maaf kalau hari ini ada bikin salah sama Abah dan Aisyah,â€Â' 'Aisyah juga Bah, Mak.â€Â' Malam itu, kami tidak menyadari kalau air sudah memasuki rumah kami. Untungnya kami tidur di lantai, sehingga kami duluan yang merasakan kebanjiran. Kulihat jam dinding, yang menunjukkan pukul dua malam lebih beberapa menit. Selang beberapa menit lagi, banjir sudah menyentuh lututku. Sedang hujan masih belum berhenti. Tanpa dikomando Emak dan abah langsung mempersiapkan segala sesuatu yang mereka anggap penting. Aku hanya diam menunggu mereka, karena yang berharga bagiku hanya Emak dan Abah. Siapa yang akan menyangka musibah itu ternyata datang lagi, sudah dapat ditebak siapa yang membuat ulah macam ini. Setelah lima tahun ternyata banjir tak ingkar janji. Masih kuingat lima tahun sebelum ini, yang waktu itu usiaku masih tujuh tahun. Pada bulan Pebruari tahun dua ribu dua, banjir menepati janjinya. Kenapa warga kota ini masih belum bisa memperbaiki sikap dan cara berpikir mereka? Tapi Tuhan telah menepatinya. Dalam jangka lima tahun Allah menguji, apakah penduduk kota ini masih banyak mengingatnya atau kembali berbuat kekufuran yang sama pada tahun sebelum musibah pertama. Padahal bukan waktu yang sedikit untuk kembali ke jalan-Nya. Pertanyaanku dan jawaban Abah selalu berkelebat di dalam benakku. Abah berjalan di depan dengan barang yang dibundel sarung, sedang Mak memegang tangan kananku. Padahal jilbab Emak masih belum terpasang rapi. Abah menyuruhku ikut dengan Emak. Yang kuperhatikan Abah segera mendekati rumah pak RT, mungkin dia hanya memberitahukan. Tapi sebenarnya tidak perlu, orang-orang sudah banyak yang berteriak, ' Banjir, banjir, bangun, bangun…â€Â' begitu ucapan mereka berkali-kali. Aku dan Emak hanya menatap ke depan. Aku sudah tahu Emak akan membawaku kemana. Sama seperti lima tahun yang lalu. Masjid, ya masjidlah yang menjadi tempat yang tenang buat keluarga kami. Tapi masih jauh, karena letaknya di dataran yang lebih tinggi. Tidak lama kemudian, Abah menyusul di belakangku. Bertiga dalam satu keluarga kami menyusuri malam yang dingin diiringi hujan yang terkadang lebat, setelahnya reda. Saling berputar. Bukan hanya kami, ternyata ada juga orang-orang lainnya. Kami tidak memperhatikan lagi segala sesuatu yang ada di belakang kami. Aku hanya mengejar rumah Allah, karena disitulah tempat kami mengadu. Itu yang Abah ajarkan padaku. ' Bah, teguran lagi ya buat kita?†' ' Bukan kita nak, tapi orang yang tamak. Buat kita, malaikat Mika'il telah menurunkan rahmat dari Allah.' Jawabannya masih belum jelas, siapakah yang tamak itu.
*** Hari yang masih curam, hujan masih belum ada hentinya, entah seperti apa kampungku sekarang. Aku berjalan keluar masjid untuk melihat suasana di luar. Ternyata yang kutemukan adalah Emak dan Abah. Sedang melihat koran pagi ini. Aku tertegun sejenak setelah abah memberiku sehelai koran yang berisi foto-foto kebanjiran di ibukota negara ini, salah satunya adalah kampungku yang diambil penampakannya dari atas. Yang tersisa hanyalah raitan atap-atap yang tidak mampu bergerak atau menyelamatkan diri mereka. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, alhamdulillah aku dan beberapa kepala keluarga masih selamat di masjid ini. Walaupun ada yang meremehkan rumah Allah ini dengan berbuat semena-mena di dalamnya. Tapi Allah mungkin masih menyayangi mereka dengan memberikan wadah untuk menyelamatkan diri. Pada helaian berikutnya, kudapati penjelasan seorang tokoh besar yang memiliki power di kota ini. Yang dia kemukakan adalah permasalahan pembangunan yang tiada henti di kota besar ini, sedang pembangun terus melampiaskan hasratnya, tanpa memperhatikan sisi negatif pada sang alam apabila terjadi hujan. Mungkin itulah balasan orang yang tamak, yang selalu menginginkan lebih dan lebih hingga tanpa batas. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang selalu mereka lakukan . Negara-negara luar apabila terjadi hujan mungkin belum beranggapan akan terjadi banjir. sebaliknya di Indonesia turunnya hujan, banjir adalah sebuah keniscayaan . Sekarang jelaslah jawaban yang diutarakan Abah itu tentang seperti apa salah seorang yang memiliki sifat tamak tersebut. Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Nya) untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Nya amat pedih . Itulah pesan Abah sebelum tidur. Syukurnya masih ada yang memperhatikan kami. Waktunya bagiku sangat tepat. Ketika perut ini berteriak lapar, relawan sudah ada yang memberikan makanan. Dan lebih enak dari yang biasa aku makan. Kata Syukur yang menjadi kunci buat Abah, Maka ingatlah kepada-Nya niscaya Dia ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Nya, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Nya . Pada bulan dan selisih lima tahun itu, masih belum menyadarkan mereka. Bahkan musibah ini melebihi dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya. Akankah lima tahun lagi Allah mengingatkan mereka lagi, aku yakin kalau mereka menyadarinya sedari sekarang, banjir bisa saja inkar janji. Namun sebaliknya, hingga mereka bisa bersyukur. Yang muncul berikutnya dari lisanku adalah, ' Bah, kapan orang-orang bisa bersyukur?â€Â' Abah menggeraikan senyumnya dan memusuti kepalaku, lalu diam. Kemudian membalikkan kepalanya ke lembaran koran itu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar